Pages

Jumat, 28 September 2012

Pemanfaatan Budaya Alay dalam Persaingan Operator Seluler #bridgingcourse06


Pemanfaatan Budaya Alay dalam Persaingan Operator Seluler

Alay, atau yang biasa disebut sebagai anak layangan, merupakan budaya pop yang lahir di Indonesia (sering disamakan dengan jejemon yang berasal dari Filipina). Istilah ini merupakan stereotype yang digunakan untuk medeskripsikan sesuatu yang dianggap norak, kampungan, atau berlebihan. Penggunaan istilah alay ini sangat luas. Tidak terbatas pada sikap atau sifat seseorang saja, namun juga selera musik, cara berbicara, cara berpakaian, dan juga kata-kata yang digunakan baik dalam percakapan sehari-hari, maupun dalam pesan tertulis.
Budaya alay ini diperkirakan muncul saat puncak popularitas band-band melayu asal Indonesia (yang kemudian juga mendapat predikat sebagai “band-band alay”). Cara bernyanyi, berpakaian, dan berbicara para personil band-band tersebut kemudian diikuti dan diperbincangkan secara berlebihan oleh para penggemar-penggemarnya yang sangat aktif di jejaring sosial, terutama Facebook (yang saat itu juga sedang mencapai puncak popularitasnya seagai jejaring sosial yang paling banyak digunakan). Hal-hal ini kemudian merebak dan terciptalah standar paten untuk fenomena alay tersebut
Di antara objek-objek seputar gaya hidup dalam budaya alay tersebut, bisa jadi pemilihan kata-kata dalam bahasa tulis merupakan yang paling menonjol. Contohnya, penggunaan angka untuk mengganti huruf-huruf tertentu, variasi huruf besar-kecil dalam satu kata, tambahan huruf “z” di setiap akhir kata, cara menyingkat kata-kata secara berlebihan, serta tanda baca yang dapat muncul di mana saja merupakan beberapa contoh budaya alay dalam bahasa tulis yang paling mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan kata-kata alay tersebut dalam kehidupan sehari-hari sering dianggap merusak aturan tata baku EYD ( ejaan yang disempurnakan) karena banyaknya hal-hal menyimpang dalam penulisan bahasa tulis tersebut. Bahasa tulis yang dianggap alay tersebut juga mendorong munculnya kata-kata slang baru dalam bahasa sehari-hari dan menjadi lebih sering digunakan daripada bentuk kata aslinya. Contohnya adalah kata-kata seperti “ciyus?” dan “miapah?” (merupakan bahasa slang dari kata “serius?” dan “demi apa?”)  yang muncul akibat penyimpangan terhadap EYD tersebut. Selain itu, kata-kata yang dihasilkan lewat cara penulisan alay tersebut sering kali tidak dapat diucapkan dan sulit dimengerti.
Meskipun dianggap sebagai perusak tatanan baku EYD dalam bahasa Indonesia, namun budaya alay tetap tumbuh subur. Bahkan dewasa ini, kata-kata slang yang muncul cenderung semakin bervariasi.
Fenomena unik ini kemudian menarik minat para kreatif periklanan untuk mengangkat budaya alay tersebut untuk mempromosikan produk-produk mereka. Budaya alay tersebut dianggap sebagai sesuatu yang dekat dengan kehidupan masyarakat, dengan harapan iklan yang dihasilkan akan lebih mudah menarik perhatian konsumen dan lebih mudah diingat.
Contoh nyata dari penggunaan budaya alay dalam industri periklanan yang paling mencolok dapat dilihat dari persaingan iklan operator seluler. Iklan operator hampir selalu diperbarui setiap bulannya, dan banyak dari mereka yang mengangkat fenomena alay ini sebagai ide utama dari iklan, yang sekali lagi, menggunakan kata-kata ataupun bahasa tulis khas “bahasa alay”.
Salah satu operator seluler yang telah memanfaatkan fenomena alay tersebut adalah IM3, dengan iklan yang menjadikan kata “kamseupay” (merupakan kepanjangan dari “kampungan sekali, udik dan payah” yang dipopulerkan oleh Marrissa Haque via blog pribadinya) sebagai ide utama. Iklan tersebut merebak dengan sangat cepat dan menjadi salah satu iklan yang paling memorable di TV saat itu karena menggunakan kata-kata populer dari bahasa alay tersebut. Pengaruhnya terhadap konsumen adalah, hal ini membuat pemirsa yang menonton iklan akan mengingat produk operator seluler tersebut saat mendengar kata kamseupay, sehingga misi iklan untuk membuat produk tersebut membekas di ingatan konsumen bisa dikatakan berhasil.
Selain itu, ada pula iklan dari Axis, versi “berpelukan”. Pada salah satu scene iklan tersebut, nampak sebuah kalimat pesan pada layar HP seorang gadis SMA yang berbunyi, “ K4mu mau jadi pacarku?” Dapat kita lihat dalam scene tersebut kata “kamu” yang diubah menjadi “K4mu” jelas menjadi salah satu contoh ciri-ciri budaya alay seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Setelah itu, scene-scene berikutnya pun menampilkan orang-orang yang mengekspresikan perasaannnya secara berlebihan terhadap hal-hal sepele. Meskipun jelas, adegan-adegan ini dibuat dengan konteks humor.
Contoh lain dari pemanfaatan budaya alay dalam persaingan pihak-pihak operator seluler adalah munculnya layanan sms alay. Layanan sms alay yang dikeluarkan oleh Telkomsel ini memungkinkan sms seseorang untuk diubah menjadi tulisan dan bahasa alay dengan biaya Rp 110,- per sms. Pada kasus ini dapat dilihat bagaimana kelihaian pihak operator seluler tersebut menemukan peluang di balik fenomena alay.
Mungkin bagi sebagian orang layanan tersebut terdengar konyol, tidak penting, dan terkesan mengada-ngada, “Untuk apa layanan seperti itu ditawarkan?” Namun pada kenyataannya, layanan tersebut memang digunakan oleh sebagian orang lainnya. Meskipun hanya sekedar untuk lucu-lucuan, iseng, penasaran, ataupun alasan yang lain.
Dari semua contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, budaya alay ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap persaingan produk operator seluler di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan cara berkomunikasi yang sering kita lakukan sehari-hari baik lewat kata-kata maupun lewat bahasa tulis. Di mana hal tersebut merupakan salah satu aspek yang paling menonjol dalam lingkup budaya alay.

Sabtu, 08 September 2012

Iklan Djarum 76 Versi Kontes Jin #bridgingcourse02




 


Iklan Djarum 76 Versi Kontes Jin
            Iklan-iklan rokok yang tayang di televisi selalu unik dan menarik untuk disimak. Hal ini  disebabkan oleh adanya larangan untuk menampilkan contoh produk rokok itu sendiri di layar televisi. Sehingga, merk-merk rokok ini berlomba-lomba menampilkan iklan yang dapat menarik perhatian masyarakat dan mempromosikan tagline masing- masing agar merk rokok itu sendiri mudah diingat oleh konsumen tanpa  menampilkan rokok yang merupakan produk dari perusahaan tersebut.
Di antara iklan-iklan rokok yang saat ini tayang di televisi, rangkaian iklan dari rokok bermerk Djarum 76 mungkin menjadi iklan rokok yang saat ini paling populer. Rangkaian iklan rokok Djarum 76 ini menampilkan sesosok jin yang cukup unik, yaitu jin dengan pakaian adat Jawa lengkap beserta bahasa dan logat khas orang Jawa sebagai tokoh utama. Tingkah lakunya yang slengekan dan nyeleneh merupakan salah satu sebab mengapa ia begitu memorable di ingatan para pemirsa televisi, meskipun jin ini hanya muncul selama kurang lebih 30 detik. Kata-kata khasnya yakni, “Wani pira?” inipun telah menjadi suatu tren yang populer dan sering ditirukan dalam percakapan sehari-hari.
Jin Jawa ini selalu mengangkat fenomena sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Contohnya, iklan “Wani Pira?” “Preman-preman dan Kuda Poni,” “Suami Takut Istri,” “ Pingin Kaya, Pingin Ganteng,” dan lain-lain. Namun, yang menjadi nilai plus dari rangkaian iklan rokok Djarum 76 ini adalah meskipun disampaikan dengan jenaka, namun memiliki nilai moral yang mendalam.
Beberapa bulan yang lalu, merk rokok dengan tagline “Yang penting hepiiii…!!!”  ini menayangkan iklan terbaru. Iklan tersebut bertajuk “Kontes Jin”. Bercerita tentang kontes jin internasional yang diadakan untuk menguji sejauh mana kesaktian 3 jin finalis dan untuk menentukan siapakah jin yang terbaik di antara mereka. Dalam kontes ini, mereka berlomba untuk menghilangkan sesuatu, dan yang menjadi kriteria penilaian dari kontes tersebut adalah, seberapa besar benda yang sanggup mereka hilangkan.
Kontestan pertama yang unjuk kebolehan adalah Jin yang berasal dari Timur tengah, ia berhasil menghilangkan piramid dari tanah Mesir. Kemudian giliran finalis kedua yang berasal dari negara Jepang. Dengan satu tarikan nafas  ia berhasil menghilangkan Gunung Fuji, lalu ia tertawa bangga atas hasil kerjanya.
            Kemudian hal yang aneh terjadi ketika jin yang berasal dari Jawa ini mendapat giliran untuk tampil.  Ia terlihat berjalan ke tengah panggung dengan tergopoh-gopoh sambil menggotong tumpukan berkas-berkas yang menjulang tinggi, kemudian ia  menghilangkan tumpukan berkas tersebut. Mulanya kontestan lain tertawa, mereka menganggap bahwa menghilangkan tumpukan kertas seperti itu adalah hal yang remeh dan tidak sebanding dengan piramid dan Gunung Fuji yang telah mereka hilangkan sebelumnya. Namun dengan santai ditambah mimik muka yang sok, Jin Jawa ini  berkata, “Kasus korupsi, hilang!!!”
            Sontak penonton kontes jin yang mayoritas berjas dan berseragam safari (melambangkan pejabat dan pegawai pemerintah) yang ada di ruangan tersebut bersorak sorai dan saling bersalam-salaman meluapkan kegembiraan. Apabila kita jeli melihat, tampak ada parodi dari sosok Gayus Tambunan di front row bangku penonton kontes tersebut. Ia pun tampak gembira sembari berjabat tangan dan diberi ucapan selamat oleh rekan-rekannya.
            Kedua jin yang lain kemudian bersujud-sujud mengaku kalah. Kemudian jin Jawa tersebut dinyatakan sebagai pemenang karena keberhasilannya menghilangkan berkas-berkas kasus korupsi.
            Mulanya saya pikir jin Jawa ini muncul sebagai tokoh heroik karena ia memilih untuk  menghilangkan kasus-kasus korupsi, namun setelah scene di mana para pejabat dan pegawai pemerintah yang menjadi penonton kontes tersebut bersorak-sorai serta munculnya sosok Gayus Tambunan di front row kontes tersebut, baru dapat disimpulkan bahwa yang dihilangkan oleh jin Jawa tersebut bukanlah perkara kasus korupsi yang sebenarnya, tapi yang ia hilangkan adalah berkas-berkas bukti dari kasus korupsi yang telah dilakukan oleh para penonton kontes tersebut, sehingga yang mereka rayakan sebenarnya adalah terbebasnya mereka dari dakwaan kasus korupsi.
            Iklan ini menyindir para pelaku korupsi yang saat ini marak dilakukan oleh pegawai instansi pemerintahan. Uang pelicin dalam sebuah proses birokrasi dianggap lumrah, dan kasus korupsi yang jelas-jelas merugikan rakyatpun dilakukan tanpa rasa bersalah dan rasa malu. Korupsi telah menjadi budaya yang mendarah daging, dan lolos dari jeratan hukum akibat korupsi dianggap sebagai prestasi. Sehingga tidak mengherankan apabila pembuat iklan ini mengambil sosok para pejabat dan pegawai pemerintahan sebagai ikon untuk melambangkan para pelaku korupsi yang terjadi di negeri ini.
            Di tengah maraknya iklan-iklan yang saling menjatuhkan pasar competitor masing-masing, ataupun iklan-iklan yang hanya sekedar lewat tanpa menyampaikan pesan yang berarti, iklan Djarum 76 ini muncul dan memberi angin segar. Iklan ini dapat menyampaikan pesan moral dan sindiran dengan gaya yang unik dan mengundang tawa.

Faida Nur Rachmawati

 

(c)2009 Live In A Toy. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger