Pages

Jumat, 09 November 2012

PENGARUH KALENDER JAWA TERHADAP SISTEM SOSIAL DAN TRADISI MASYARAKAT JAWA #bridgingcourse10

PENGARUH KALENDER JAWA TERHADAP SISTEM SOSIAL DAN TRADISI MASYARAKAT JAWA


Waktu merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia akan melakukan aktivitasnya seiring dengan berjalannya waktu. Makan, tidur, bekerja, semua kegiatan akan selalu terikat dengan waktu. Konsep mengenai waktu ini  akan selalu memberikan pengaruh pada setiap aspek perjalanan hidup manusia.
Sebagai makhluk yang berakal, tentunya manusia tidak akan membiarkan waktu yang ada berlalu begitu saja tanpa arti. Seiring dengan semakin majunya tingkat peradaban dan pola berpikir, manusia akan semakin merasakan perlunya program kegiatan yang terencana dalam rangka memberikan arti atau nilai terhadap konsep waktu itu sendiri.
Dalam sub bab Taksonomi Lingkungan Waktu, Tom Bruneau (1979: 143) menyebutkan bahwa, “Nilai Waktu (Temporal Values) merupakan bahasan mengenai pemberian nilai pada waktu-waktu (peristiwa), dan perwaktuan ketika dikaitkan dengan perilaku personal, sosial, dan kultural.” Mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Tom Bruneau tersebut, cara masyarakat untuk memberikan nilai pada waktu berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, tergantung pada budaya daerah masing-masing. Hal serupa juga telah dikemukakan oleh Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1982: 63) yang menyatakan bahwa, “Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya.”
            Sebagai bukti atas kedua pendapat tersebut, beberapa kelompok masyarakat merasakan perlunya membuat suatu sistem yang digunakan untuk menandai unsur rentang waktu yang nantinya akan dipakai untuk memberikan nilai pada konsep waktu itu sendiri. Sistem ini disebut dengan sistem penanggalan atau kalender. Sistem penanggalan ini pada umumnya menggunakan patokan hari, bulan, dan tahun yang dihitung berdasarkan rotasi matahari (solar system) atau bulan (lunar system). Untuk unsur-unsur lain yang terdapat pada masing-masing kalender, bergantung pada budaya dan keperluan dari sang pembuat kalender seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
            Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa sistem penanggalan yang telah dikenal luas dan digunakan sesuai fungsinya masing-masing. Misalnya, kalender masehi yang berdasarkan sistem matahari. Kalender ini digunakan sebagai sarana komunikasi dalam lingkup nasional, maupun internasional. Di Bali, masyarakat menggunakan sistem penanggalan Saka untuk kepentingan-kepentingan yang erat kaitannya dengan ritual sehari-hari maupun event keagamaan lainnya. Sementara masyarakat keturunan Cina yang tinggal di Indonesia, banyak dari mereka yang masih memanfaatkan sistem penanggalan yang berasal dari tanah air mereka. Kalender Cina, atau yang sering disebut dengan kalender Imlek ini dibuat berdasarkan sistem bulan dan matahari sekaligus untuk kepentingan-kepentingan yang menyangkut tradisi (Mulyono, 1992: 13).
            Masyarakat Jawa pun memiliki sistem penanggalan yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Sistem penanggalan ini berfungsi sebagai penanda waktu untuk berbagai event, seperti ritual keagamaan, tradisi kerajaan yang berpusat pada Keraton, serta kegiatan kemasyarakatan lainnya. Sistem penanggalan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa ini cukup unik karena memadukan unsur budaya Islam (kalender Hijriyah yang berasal dari Arab), Hindu-Buddha (kalender Saka yang berasal dari India), dan sedikit budaya Barat sekaligus.
            Sistem kalender Jawa ini pertama kali dicanangkan oleh Sultan Agung. Beliau mengeluarkan dekrit untuk mengubah sistem penanggalan yang telah lama digunakan oleh masyarakat Jawa saat itu, yaitu kalender Saka. Hal ini beliau lakukan demi menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Sejak saat itu, kalender yang resmi digunakan di lingkungan masyarakat adalah kalender Jawa yang menggunakan sistem kalender Lunar (bulan). Namun, kalender Jawa ini tidak menggunakan angka tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Angka tahun Saka kemudian tetap diteruskan karena asas berkesinambungan. Sehingga tahun yang saat itu 1547 Saka, berubah menjadi 1547 Jawa.
            Secara garis besar perbedaan tahun Jawa dengan kalender lainnya terletak pada siklus harian. Kalender Jawa mengenal dua macam perhitungan hari yang digunakan sebagai salah satu perangkat pranata sosial masyarakat Jawa, yaitu Saptawara dan Pancawara (Surjana). Saptawara merupakan siklus tujuh hari yang bersifat Internasional, yang terdiri atas hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sementara Pancawara adalah siklus perhitungan lima hari bersifat lokal atau yang biasa disebut dengan pasaran yang terdiri atas: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Nama-nama hari yang terdapat dalam kalender Jawa ini merupakan kombinasi dari kedua macam perhitungan hari tersebut, contohnya Senin-Legi, Jumat-Kliwon, Minggu-Pahing dan lain-lain.
            Sistem penanggalan yang baru ini tentunya memberikan pengaruh dan perubahan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa saat itu. Perubahan yang dilaksanakan Sultan Agung tidak hanya berfokus pada aspek politik saja. Beliau juga menaruh perhatian lebih kepada pengembangan kebudayaan. (Moedjanto, 1993: 98). Sultan Agung melakukan penataan ulang terhadap berbagai upacara dan tradisi bersifat keagamaan agar sesuai dengan ajaran agama Islam. Baik itu yang bersifat perayaan, maupun keprihatinan. Upacara-upacara adat itulah yang untuk selanjutnya dilaksanakan menurut perhitungan kalender Jawa.
Seperti yang telah diketahui umum bahwasanya orang Jawa menyukai perayaan dan keramaian. Mereka menyukai kegiatan berkumpul dan makan bersama. Hampir di setiap kesempatan yang dianggap luar biasa, seperti kelahiran, khitanan, pernikahan, bahkan keberuntungan, orang-orang Jawa ini akan mengadakan selametan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang dilimpahkan kepada mereka (Laksono, 2009: 21). Selain itu, mereka juga menggemari bunyi-bunyian yang ramai dan menarik perhatian seperti gamelan. Hal inilah yang kemudian mendorong terciptanya banyak perayaan maupun upacara-upacara adat yang kemudian disesuaikan dengan kalender Jawa sebagai bentuk penyesuaian terhadap sistem penanggalan yang baru tersebut. Fenomena tersebut membuktikan  pendapat David Kaplan dan Albert A. Manners (1999: 82) yang menyatakan bahwa, “Suatu institusi atau kegiatan budaya dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu.” Sehingga dapat dikatakan bahwa munculnya perubahan pada perayaan atau upacara tersebut adalah salah satu contoh bentuk penyesuaian yang dilakukan masyarakat Jawa terhadap sistem penanggalan yang baru, yaitu kalender Jawa.
Pada umumnya perayaan dan upacara yang baru ini merupakan kombinasi dari unsur-unsur Islam yang berpadu dengan adat kejawen. Yang paling terkenal karena dilaksanakan dalam skala besar tentu saja, perayaan sekaten dan upacara garebeg. Selain itu, ada pula upacara yang sifatnya lokal karena hanya dilaksanakan bersama orang-orang terdekat atau tetangga sekitar saja, yaitu  upacara tingkeban dan wiwitan.
Perayaan sekaten rutin digelar setiap tahun dan berlangsung selama tujuh hari yang dimulai pada tanggal 5 Mulud dan berakhir pada tangal 11 Mulud. Upacara ini diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang digunakan sekaligus untuk menyiarkan agama Islam di lingkungan masyarakat Jawa pada masa itu. Hal ini dilakukan sebagai strategi dakwah sunan Kalijaga yang melihat peluang dakwah dari kegemaran masyarakat Jawa akan perayaan dan bunyi-bunyian gamelan seperti yang telah disebutkan sebelumnya
            “Dengan menggunakan keindahan seni gamelan, dan dengan melestarikan kehidupan tradisi yang hidup di dalam kehidupan budaya masyarakat, para wali itu menyebarkan ajaran Islam dengan gigihnya. Dan ternyata usaha mereka itu berhasil sehingga tidak sedikit jumlah orang yang tertarik, dan masuk Islam, dan dengan pesatnya agama Islam berkembang di dalam kehidupan masyarakat Jawa.” (Soepanto, 1984: 101)
            Terkait dengan perayaan sekaten tersebut, ada pula upacara garebeg yang dilaksanakan beriringan dengan berlangsungnya perayaan sekaten. Garebeg yang dilaksanakan tiga kali dalam setahun ini memiliki makna khusus baik bagi kasultanan Yogyakarta maupun masyarakat Jawa itu sendiri. Upacara kerajaan ini dilaksanakan untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW (garebeg Mulud), Idul Fitri (garebeg Syawal), dan Idul Adha (garebeg Besar).
Garebeg itu sendiri merupakan upacara kerajaan yang melibatkan seisi keraton. Segenap aparat kerajaan dari yang berpangkat tertinggi sampai terendah. Selain itu, upacara ini juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan mengharuskan para pembesar pemerintah kolonial berperan serta. Dengan menyelenggarakan garebeg, secara publik terlihatlah kehadiran kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri itu, sebagai kerajaan Jawa-Islam. Garebeg secara publik juga menjabarkan gelar sultan yang bersifat kemusliman (Mandyokusumo, 1977: 9).
            Dari uraian Mandyokusumo tersebut, dapat dilihat bahwa upacara garebeg ini memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa maupun lingkungan kerajaan. Baik secara politik maupun sosial. Secara politik, upacara ini menegaskan status kerajaan yang bersifat Islam. Sementara dilihat dari segi  sosial, kewajiban seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upacara adat ini menunjukkan ketaatan masyarakat Jawa kepada kebijakan keraton.
            Dapat disimpulkan bahwa dalam baik dalam sistem yang berlaku, kegiatan sehari-hari, maupun tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, semua mengandung berbagai makna dan kepentingan yang ingin dikomunikasikan terhadap pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap hasil cipta, rasa, dan karya manusia, mengandung pesan yang ingin disampaikan atau dikomunikasikan kepada pihak yang dituju (Samovar dan Porter, 1982: 14). Dan cara masing-masing orang atau masyarakat dalam mengkomunikasikan maksud dan kepentingan tersebut tentunya berbeda antara satu dengan yang lain yang kemudian mengakibatkan terciptanya keragaman.
            Seiring dengan berjalannya waktu, kemampuan manusia untuk mengomunikasikan apa yang dipikirkannya juga akan semakin bervariasi. Oleh karena itu, tentu untuk ke depannya akan semakin banyak sstem dan tradisi baru yang akan muncul dan berkembang dalam lingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 2000. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.      Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bruneau, Tom. 1979. “The Time Dimension in Intercultural Communication” dalam Komunikasi Antar Budaya. Drs. Deddy Mulyana M.A. dan Drs. Jalaluddin Rakhmat M.A. 1990. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hadiatmaja, Drs. H. Surjana, dan Hj. Kuswa Endah, M. Pd. Tanpa tahun. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah.
Kaplan, David, dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laksono, P.M. 2009. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.
Mandyokusumo, KRT. 1977. “Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat” dalam Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. B. Soelarto. 1993.  Yogyakarta: Kanisius.
Moedjanto, G. 1993. The Concept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mulyono, Djoko. 1992. Melihat Saat Tahu Waktu. Jakarta: Studio Delapan Puluh
Purwadi, M.Hum. 2005. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Samovar, Larry A, dan Richard E. Porter. 1982. “Intercultural Communication: A Reader, 3rd Edition” dalam Komunikasi Antar Budaya. Drs. Deddy Mulyana M.A. dan Drs. Jalaluddin Rakhmat M.A. 1990. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soepanto, dkk. 1984. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 Live In A Toy. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger