Pemanfaatan Budaya
Alay dalam Persaingan Operator Seluler
Alay, atau yang biasa disebut
sebagai anak layangan, merupakan budaya pop yang lahir di Indonesia (sering
disamakan dengan jejemon yang berasal
dari Filipina). Istilah ini merupakan stereotype yang digunakan untuk
medeskripsikan sesuatu yang dianggap norak, kampungan, atau berlebihan.
Penggunaan istilah alay ini sangat luas. Tidak terbatas pada sikap atau sifat seseorang
saja, namun juga selera musik, cara berbicara, cara berpakaian, dan juga kata-kata
yang digunakan baik dalam percakapan sehari-hari, maupun dalam pesan tertulis.
Budaya alay ini diperkirakan
muncul saat puncak popularitas band-band melayu asal Indonesia (yang kemudian
juga mendapat predikat sebagai “band-band alay”). Cara bernyanyi, berpakaian, dan
berbicara para personil band-band tersebut kemudian diikuti dan diperbincangkan
secara berlebihan oleh para penggemar-penggemarnya yang sangat aktif di
jejaring sosial, terutama Facebook (yang saat itu juga sedang mencapai puncak
popularitasnya seagai jejaring sosial yang paling banyak digunakan). Hal-hal ini
kemudian merebak dan terciptalah standar paten untuk fenomena alay tersebut
Di antara objek-objek seputar
gaya hidup dalam budaya alay tersebut, bisa jadi pemilihan kata-kata dalam bahasa
tulis merupakan yang paling menonjol. Contohnya, penggunaan angka untuk
mengganti huruf-huruf tertentu, variasi huruf besar-kecil dalam satu kata,
tambahan huruf “z” di setiap akhir kata, cara menyingkat kata-kata secara
berlebihan, serta tanda baca yang dapat muncul di mana saja merupakan beberapa
contoh budaya alay dalam bahasa tulis yang paling mudah ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari.
Penggunaan kata-kata alay
tersebut dalam kehidupan sehari-hari sering dianggap merusak aturan tata baku
EYD ( ejaan yang disempurnakan) karena banyaknya hal-hal menyimpang dalam
penulisan bahasa tulis tersebut. Bahasa tulis yang dianggap alay tersebut juga
mendorong munculnya kata-kata slang baru dalam bahasa sehari-hari dan menjadi
lebih sering digunakan daripada bentuk kata aslinya. Contohnya adalah kata-kata
seperti “ciyus?” dan “miapah?” (merupakan bahasa slang dari kata “serius?” dan
“demi apa?”) yang muncul akibat penyimpangan
terhadap EYD tersebut. Selain itu, kata-kata yang dihasilkan lewat cara
penulisan alay tersebut sering kali tidak dapat diucapkan dan sulit dimengerti.
Meskipun dianggap sebagai perusak
tatanan baku EYD dalam bahasa Indonesia, namun budaya alay tetap tumbuh subur.
Bahkan dewasa ini, kata-kata slang yang muncul cenderung semakin bervariasi.
Fenomena unik ini kemudian
menarik minat para kreatif periklanan untuk mengangkat budaya alay tersebut
untuk mempromosikan produk-produk mereka. Budaya alay tersebut dianggap sebagai
sesuatu yang dekat dengan kehidupan masyarakat, dengan harapan iklan yang
dihasilkan akan lebih mudah menarik perhatian konsumen dan lebih mudah diingat.
Contoh nyata dari penggunaan
budaya alay dalam industri periklanan yang paling mencolok dapat dilihat dari
persaingan iklan operator seluler. Iklan operator hampir selalu diperbarui
setiap bulannya, dan banyak dari mereka yang mengangkat fenomena alay ini
sebagai ide utama dari iklan, yang sekali lagi, menggunakan kata-kata ataupun
bahasa tulis khas “bahasa alay”.
Salah satu operator seluler yang telah
memanfaatkan fenomena alay tersebut adalah IM3, dengan iklan yang menjadikan
kata “kamseupay” (merupakan kepanjangan dari “kampungan sekali, udik dan payah”
yang dipopulerkan oleh Marrissa Haque via blog pribadinya) sebagai ide utama.
Iklan tersebut merebak dengan sangat cepat dan menjadi salah satu iklan yang
paling memorable di TV saat itu karena menggunakan kata-kata populer dari
bahasa alay tersebut. Pengaruhnya terhadap konsumen adalah, hal ini membuat
pemirsa yang menonton iklan akan mengingat produk operator seluler tersebut
saat mendengar kata kamseupay, sehingga misi iklan untuk membuat produk
tersebut membekas di ingatan konsumen bisa dikatakan berhasil.
Selain itu, ada pula iklan dari
Axis, versi “berpelukan”. Pada salah satu scene iklan tersebut, nampak sebuah
kalimat pesan pada layar HP seorang gadis SMA yang berbunyi, “ K4mu mau jadi
pacarku?” Dapat kita lihat dalam scene tersebut kata “kamu” yang diubah menjadi
“K4mu” jelas menjadi salah satu contoh ciri-ciri budaya alay seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Setelah itu, scene-scene berikutnya pun menampilkan
orang-orang yang mengekspresikan perasaannnya secara berlebihan terhadap
hal-hal sepele. Meskipun jelas, adegan-adegan ini dibuat dengan konteks humor.
Contoh lain dari pemanfaatan
budaya alay dalam persaingan pihak-pihak operator seluler adalah munculnya
layanan sms alay. Layanan sms alay yang dikeluarkan oleh Telkomsel ini
memungkinkan sms seseorang untuk diubah menjadi tulisan dan bahasa alay dengan
biaya Rp 110,- per sms. Pada kasus ini dapat dilihat bagaimana kelihaian pihak
operator seluler tersebut menemukan peluang di balik fenomena alay.
Mungkin bagi sebagian orang
layanan tersebut terdengar konyol, tidak penting, dan terkesan mengada-ngada,
“Untuk apa layanan seperti itu ditawarkan?” Namun pada kenyataannya, layanan
tersebut memang digunakan oleh sebagian orang lainnya. Meskipun hanya sekedar
untuk lucu-lucuan, iseng, penasaran, ataupun alasan yang lain.
Dari semua contoh-contoh di atas
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, budaya alay ini memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap persaingan produk operator seluler di Indonesia. Hal ini
berkaitan dengan cara berkomunikasi yang sering kita lakukan sehari-hari baik
lewat kata-kata maupun lewat bahasa tulis. Di mana hal tersebut merupakan salah
satu aspek yang paling menonjol dalam lingkup budaya alay.
0 komentar:
Posting Komentar