PENGARUH KALENDER JAWA TERHADAP SISTEM
SOSIAL DAN TRADISI MASYARAKAT JAWA
Waktu merupakan
hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia akan melakukan
aktivitasnya seiring dengan berjalannya waktu. Makan, tidur, bekerja, semua
kegiatan akan selalu terikat dengan waktu. Konsep mengenai waktu ini akan selalu memberikan pengaruh pada setiap
aspek perjalanan hidup manusia.
Sebagai makhluk
yang berakal, tentunya manusia tidak akan membiarkan waktu yang ada berlalu
begitu saja tanpa arti. Seiring dengan semakin majunya tingkat peradaban dan
pola berpikir, manusia akan semakin merasakan perlunya program kegiatan yang
terencana dalam rangka memberikan arti atau nilai terhadap konsep waktu itu
sendiri.
Dalam sub bab
Taksonomi Lingkungan Waktu, Tom Bruneau (1979: 143) menyebutkan bahwa, “Nilai
Waktu (Temporal Values) merupakan
bahasan mengenai pemberian nilai pada waktu-waktu (peristiwa), dan perwaktuan
ketika dikaitkan dengan perilaku personal, sosial, dan kultural.” Mengacu pada
pendapat yang dikemukakan oleh Tom Bruneau tersebut, cara masyarakat untuk
memberikan nilai pada waktu berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan
yang lain, tergantung pada budaya daerah masing-masing. Hal serupa juga telah
dikemukakan oleh Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1982: 63) yang
menyatakan bahwa, “Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan
budaya lainnya.”
Sebagai
bukti atas kedua pendapat tersebut, beberapa kelompok masyarakat merasakan
perlunya membuat suatu sistem yang digunakan untuk menandai unsur rentang waktu
yang nantinya akan dipakai untuk memberikan nilai pada konsep waktu itu sendiri.
Sistem ini disebut dengan sistem penanggalan atau kalender. Sistem penanggalan
ini pada umumnya menggunakan patokan hari, bulan, dan tahun yang dihitung
berdasarkan rotasi matahari (solar system)
atau bulan (lunar system). Untuk
unsur-unsur lain yang terdapat pada masing-masing kalender, bergantung pada
budaya dan keperluan dari sang pembuat kalender seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.
Di
Indonesia sendiri, terdapat beberapa sistem penanggalan yang telah dikenal luas
dan digunakan sesuai fungsinya masing-masing. Misalnya, kalender masehi yang
berdasarkan sistem matahari. Kalender ini digunakan sebagai sarana komunikasi
dalam lingkup nasional, maupun internasional. Di Bali, masyarakat menggunakan
sistem penanggalan Saka untuk kepentingan-kepentingan yang erat kaitannya
dengan ritual sehari-hari maupun event
keagamaan lainnya. Sementara masyarakat keturunan Cina yang tinggal di
Indonesia, banyak dari mereka yang masih memanfaatkan sistem penanggalan yang
berasal dari tanah air mereka. Kalender Cina, atau yang sering disebut dengan
kalender Imlek ini dibuat berdasarkan
sistem bulan dan matahari sekaligus untuk kepentingan-kepentingan yang
menyangkut tradisi (Mulyono, 1992: 13).
Masyarakat
Jawa pun memiliki sistem penanggalan yang berkaitan erat dengan kehidupan
sehari-hari mereka. Sistem penanggalan ini berfungsi sebagai penanda waktu
untuk berbagai event, seperti ritual keagamaan, tradisi kerajaan yang berpusat
pada Keraton, serta kegiatan kemasyarakatan lainnya. Sistem penanggalan yang
dimiliki oleh masyarakat Jawa ini cukup unik karena memadukan unsur budaya
Islam (kalender Hijriyah yang berasal
dari Arab), Hindu-Buddha (kalender Saka yang berasal dari India), dan sedikit
budaya Barat sekaligus.
Sistem
kalender Jawa ini pertama kali dicanangkan oleh Sultan Agung. Beliau mengeluarkan
dekrit untuk mengubah sistem penanggalan yang telah lama digunakan oleh
masyarakat Jawa saat itu, yaitu kalender Saka. Hal ini beliau lakukan demi
menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Sejak saat itu, kalender yang
resmi digunakan di lingkungan masyarakat adalah kalender Jawa yang menggunakan
sistem kalender Lunar (bulan). Namun,
kalender Jawa ini tidak menggunakan angka tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Angka tahun Saka kemudian tetap
diteruskan karena asas berkesinambungan. Sehingga tahun yang saat itu 1547
Saka, berubah menjadi 1547 Jawa.
Secara
garis besar perbedaan tahun Jawa dengan kalender lainnya terletak pada siklus
harian. Kalender Jawa mengenal dua macam perhitungan hari yang digunakan
sebagai salah satu perangkat pranata sosial masyarakat Jawa, yaitu Saptawara dan Pancawara (Surjana). Saptawara
merupakan siklus tujuh hari yang bersifat Internasional, yang terdiri atas hari
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sementara Pancawara adalah siklus perhitungan lima
hari bersifat lokal atau yang biasa disebut dengan pasaran yang terdiri atas: Legi,
Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Nama-nama hari yang terdapat dalam kalender Jawa ini merupakan kombinasi dari
kedua macam perhitungan hari tersebut, contohnya Senin-Legi, Jumat-Kliwon, Minggu-Pahing dan lain-lain.
Sistem
penanggalan yang baru ini tentunya memberikan pengaruh dan perubahan terhadap berbagai
aspek kehidupan masyarakat Jawa saat itu. Perubahan yang dilaksanakan Sultan
Agung tidak hanya berfokus pada aspek politik saja. Beliau juga menaruh
perhatian lebih kepada pengembangan kebudayaan. (Moedjanto, 1993: 98). Sultan
Agung melakukan penataan ulang terhadap berbagai upacara dan tradisi bersifat
keagamaan agar sesuai dengan ajaran agama Islam. Baik itu yang bersifat
perayaan, maupun keprihatinan. Upacara-upacara adat itulah yang untuk
selanjutnya dilaksanakan menurut perhitungan kalender Jawa.
Seperti yang telah
diketahui umum bahwasanya orang Jawa menyukai perayaan dan keramaian. Mereka
menyukai kegiatan berkumpul dan makan bersama. Hampir di setiap kesempatan yang
dianggap luar biasa, seperti kelahiran, khitanan, pernikahan, bahkan
keberuntungan, orang-orang Jawa ini akan mengadakan selametan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang
dilimpahkan kepada mereka (Laksono, 2009: 21). Selain itu, mereka juga
menggemari bunyi-bunyian yang ramai dan menarik perhatian seperti gamelan. Hal inilah yang kemudian
mendorong terciptanya banyak perayaan maupun upacara-upacara adat yang kemudian
disesuaikan dengan kalender Jawa sebagai bentuk penyesuaian terhadap sistem
penanggalan yang baru tersebut. Fenomena tersebut membuktikan pendapat David Kaplan dan Albert A. Manners
(1999: 82) yang menyatakan bahwa, “Suatu institusi atau kegiatan budaya
dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian
sistem tertentu.” Sehingga dapat dikatakan bahwa munculnya perubahan pada
perayaan atau upacara tersebut adalah salah satu contoh bentuk penyesuaian yang
dilakukan masyarakat Jawa terhadap sistem penanggalan yang baru, yaitu kalender
Jawa.
Pada umumnya
perayaan dan upacara yang baru ini merupakan kombinasi dari unsur-unsur Islam
yang berpadu dengan adat kejawen.
Yang paling terkenal karena dilaksanakan dalam skala besar tentu saja, perayaan
sekaten dan upacara garebeg. Selain itu, ada pula upacara yang
sifatnya lokal karena hanya dilaksanakan bersama orang-orang terdekat atau
tetangga sekitar saja, yaitu upacara tingkeban dan wiwitan.
Perayaan sekaten rutin digelar setiap tahun dan
berlangsung selama tujuh hari yang dimulai pada tanggal 5 Mulud dan berakhir
pada tangal 11 Mulud. Upacara ini diselenggarakan untuk memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW yang digunakan sekaligus untuk menyiarkan agama
Islam di lingkungan masyarakat Jawa pada masa itu. Hal ini dilakukan sebagai strategi
dakwah sunan Kalijaga yang melihat peluang dakwah dari kegemaran masyarakat
Jawa akan perayaan dan bunyi-bunyian gamelan
seperti yang telah disebutkan sebelumnya
“Dengan menggunakan keindahan seni
gamelan, dan dengan melestarikan kehidupan tradisi yang hidup di dalam
kehidupan budaya masyarakat, para wali itu menyebarkan ajaran Islam dengan
gigihnya. Dan ternyata usaha mereka itu berhasil sehingga tidak sedikit jumlah
orang yang tertarik, dan masuk Islam, dan dengan pesatnya agama Islam
berkembang di dalam kehidupan masyarakat Jawa.” (Soepanto, 1984: 101)
Terkait
dengan perayaan sekaten tersebut, ada
pula upacara garebeg yang dilaksanakan
beriringan dengan berlangsungnya perayaan sekaten.
Garebeg yang dilaksanakan tiga kali
dalam setahun ini memiliki makna khusus baik bagi kasultanan Yogyakarta maupun
masyarakat Jawa itu sendiri. Upacara kerajaan ini dilaksanakan untuk
memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW (garebeg Mulud), Idul Fitri (garebeg
Syawal), dan Idul Adha (garebeg
Besar).
Garebeg itu sendiri merupakan upacara
kerajaan yang melibatkan seisi keraton. Segenap aparat kerajaan dari yang
berpangkat tertinggi sampai terendah. Selain itu, upacara ini juga melibatkan
seluruh lapisan masyarakat dan mengharuskan para pembesar pemerintah kolonial
berperan serta. Dengan menyelenggarakan garebeg,
secara publik terlihatlah kehadiran kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri
itu, sebagai kerajaan Jawa-Islam. Garebeg secara publik juga menjabarkan gelar
sultan yang bersifat kemusliman (Mandyokusumo, 1977: 9).
Dari
uraian Mandyokusumo tersebut, dapat dilihat bahwa upacara garebeg ini memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa
maupun lingkungan kerajaan. Baik secara politik maupun sosial. Secara politik,
upacara ini menegaskan status kerajaan yang bersifat Islam. Sementara dilihat
dari segi sosial, kewajiban seluruh
lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upacara adat ini menunjukkan
ketaatan masyarakat Jawa kepada kebijakan keraton.
Dapat
disimpulkan bahwa dalam baik dalam sistem yang berlaku, kegiatan sehari-hari,
maupun tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, semua mengandung
berbagai makna dan kepentingan yang ingin dikomunikasikan terhadap pihak lain.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap hasil cipta, rasa, dan karya manusia,
mengandung pesan yang ingin disampaikan atau dikomunikasikan kepada pihak yang
dituju (Samovar dan Porter, 1982: 14). Dan cara masing-masing orang atau
masyarakat dalam mengkomunikasikan maksud dan kepentingan tersebut tentunya
berbeda antara satu dengan yang lain yang kemudian mengakibatkan terciptanya
keragaman.
Seiring
dengan berjalannya waktu, kemampuan manusia untuk mengomunikasikan apa yang
dipikirkannya juga akan semakin bervariasi. Oleh karena itu, tentu untuk ke
depannya akan semakin banyak sstem dan tradisi baru yang akan muncul dan
berkembang dalam lingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 2000. Upacara
Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bruneau, Tom. 1979. “The Time Dimension in
Intercultural Communication” dalam Komunikasi Antar Budaya. Drs. Deddy Mulyana
M.A. dan Drs. Jalaluddin Rakhmat M.A. 1990. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hadiatmaja, Drs. H. Surjana, dan Hj. Kuswa
Endah, M. Pd. Tanpa tahun. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta:
Grafika Indah.
Kaplan, David, dan Albert A. Manners. 1999.
Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laksono, P.M. 2009. Tradisi dalam Struktur
Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih Ubah Model Berpikir Jawa.
Yogyakarta: Kepel Press.
Mandyokusumo, KRT. 1977. “Serat Raja Putra
Ngayogyakarta Hadiningrat” dalam Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. B. Soelarto.
1993. Yogyakarta: Kanisius.
Moedjanto, G. 1993. The Concept of Power in
Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mulyono,
Djoko. 1992. Melihat Saat Tahu Waktu. Jakarta: Studio Delapan Puluh
Purwadi, M.Hum. 2005. Upacara Tradisional
Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Samovar, Larry A, dan Richard E. Porter.
1982. “Intercultural Communication: A Reader, 3rd Edition” dalam
Komunikasi Antar Budaya. Drs. Deddy Mulyana M.A. dan Drs. Jalaluddin Rakhmat
M.A. 1990. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soepanto, dkk. 1984. Upacara Tradisional
Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar